Rabu, 08 April 2009

Pilih-pilih sekolah, awas jangan salah !

Pilih-pilih sekolah, awas jangan salah !
By : Emmy Soekresno S. Pd.
A mother of 4 homeschooler


Keadaan sekolah kita kini :
Sikap para pendidik dalam era industri (yang akan segera berlalu) ini mempunyai asumsi dan kecenderungan sebagai berikut :
1. lebih berfokus pada apa yang perlu disampaikan (kurikulum) dalam proses belajar mengajar.

2. lebih berorientasi pada guru dan apa yang harus dilakukan

3. proses penyampaian ilmu pengetahuan berhenti pada pengetahuan teoritis

4. percaya bahwa guru tidak boleh dan tidak pernah salah serta merupakan satu-satunya sumber ilmu

5. terlalu membebani peserta didik, sehingga sekolah / kegiatan belajar menjadi momok, merupakan tugas berat dan paksaan

6. yakin bahwa :

  • semua anak belajar dengan cara yang sama. Hal ini membuat keberagaman individu di kelas dianggap sebagai penyimpangan karena tidak sesuai dengan standar kelas. Padahal belakangan para ilmuwan di bidang pendidikan menemukan adanya perbedaan mendasar yang membuat individu itu unik/spesial. Misalnya adanya perbedaan gaya belajar (auditorial, visual dan kinestetik); kecepatan belajar ( pelari, pejalan kaki dan pelompat); 8 jenis kecerdasan yang dimiliki setiap individu.
  • belajar hanya dikepala bukan diseluruh tubuh, karena belajar dianggap hanya urusan kecerdasan logika. Hasilnya adalah lingkungan belajar yang pasif, berupa fakta-fakta yang harus dihapalkan dan satu jawaban pasti untuk dapat menyelesaikan masalah. Sebenarnya belajar tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan. “Semua kegiatan adalah pengetahuan dan semua pengetahuan adalah kegiatan”. Jadi ingatan kita terhadap fakta dan teori akhirnya tidak hanya tersimpan di kesadaran dan otak tapi juga di badan kita.
  • belajar hanya terjadi di kelas dan bukan di alam sekitar. Padahal belajar yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan ditentukan oleh keaktifan individu tersebut terhadap dunia sekitarnya. Seseorang juga memiliki kemampuan untuk belajar di berbagai situasi formal misalnya di sekolah asal pengetahuan yang diperoleh berguna dan dapat diterapkan. Segala hubungan yang dilakukan anak dalam kehidupannya memberikan kesempatan anak untuk belajar; segala yang dilakukan anak dapat dilakukan dalam nuansa belajar.
  • peserta didik ada dua macam, yang pintar dan yang bodoh. Istilah yang pintar berarti yang unggul dalam kelas dan yang bodoh adalah yang tidak dapat memenuhi standar keunggulan. Label ini membuat kita tidak dapat berpikir alternatif. Sebenarnya alternatif itu ada dalam diri kita masing-masing : semua insan lahir dengan kelebihan dan kekurangan yang unik, berbeda satu sama lain. Seperti kita menggendong bayi yang baru lahir yang terpikir oleh kita bukan apakah bayi ini pintar atau bodoh tapi kita takjub pada kehidupan yang Allah berikan kepada bayi tersebut.
  • anak–anak terlahir punya kekurangan dan sekolah dapat memperbaikinya. Kita tidak tahu seberapa besar trauma yang dirasakan anak di sekolah saat ia baru tahu dirinya ternyata tidak dapat melukis atau tidak bisa menyanyi dan bahwa kita ternyata tidak pandai matematika atau bahasa Inggris. Trauma ini muncul karena manusia dianalogikan sebagai mesin artinya penyeragaman merupakan inti dari era industri. Disini anak dilihat sebagai bahan dasar yang kurang baik dan dengan masuk sekolah akan dihasilkan produk akhir yang baik. Pendapat yang keliru ini akan mempengaruhi bagaimana anak melihat dirinya sendiri saat mendapat nilai buruk. Mereka merasakan evaluasi yang dilakukan di sekolah adalah penilaian diri. Orangtua mungkin merasa gagal melaksanakan tugasnya ketika anaknya tidak dapat mengikuti standar yang ada (mendapat ranking dengan angka besar).

Kondisi kebanyakan sekolah kita yang digambarkan diatas diperparah dengan paradigma orangtua yang ikut-ikutan menyiksa anak dengan berbagai tuntutan tidak wajar, yang mengunakan dalih bawa itu adalah tuntutan sekolah. Lalu bagaimana kita memilih sekolah yang baik atau relatif baik?

Kriteria sekolah dasar yang baik
Ada beberapa aspek yang harus dicermati, yaitu aspek fisik dan non-fisik. Untuk yang pertama lebih mudah karena tampil di mata kita. Aspek non fisik lebih sulit ditentukan karena tak tampak. Berikut beberapa tips memilih sekolah berdasarkan aspek fisik dan non fisik.

Beberapa aspek non fisik yang menjadi bahan pertimbangan :

  • Jangan percaya sama brosur atau promosi sekolah. Brosur dibuat oleh para ahli sehingga gambarannya sangat menawan. Tapi tengoklah buletin board atau papan hasil karya siswa. Jika nampak kreativitas siswa dan keragaman kegiatan yang ditampilkan, itu bisa merupakan gambaran umum kegiatan belajar mengajar yang interaktif, bukan klasikal.
  • Perhatikan temperamen siswa sekolah tersebut, atau bahkan temperamen guru dan staf yang ada di sekolah. Jika siswa kebanyakan lincah tapi teratur, memiliki adab yang baik kepada guru atau tamu, dll. Lihat juga bagaimana respons guru secara umum terhadap tamu, sikap terhadap anak, dan yang lebih baik lagi jika anda dapat menyaksikan kegiatan belajar mengajar di kelas.
  • Predikat sekolah favorit juga kadang menyesatkan. Karena beritanya dari mulut ke mulut tidak memiliki standar yang baku. Sehingga kedatangan orangtua dan anak ke lokasi sekolah sangat diperlukan untuk meyakinkan tentang predikat sekolah tersebut. Tapi bisa juga sekolah itu memang berkualitas baik.
  • Periksa juga sistem seleksi siswa baru yang digunakan di sekolah tersebut. Jika diadakan ”placement test” atau tes penempatan, maka biasanya sekolah itu hanya akan menerima anak-anak yang punya IQ tertentu, dan tidak akan menerima anak yang punya masalah psikologis, emosional, kesulitan belajar,dll. Pendeknya sekolah ini tidak mau berisiko menerima anak dengan ’masalah’. Secara umum anak yang bisa ”survive” di sekolah ini adalah anak yang cerdas angka. Lain lagi dengan sekolah yang mengadakan tes kematangan sekolah yang akan membantu orangtua dan guru mendapatkan gambaran tentang anak dan siswanya. Pengetahuan ini akan digunakan untuk menentukan metode dan kegiatan belajar mengajar yang akan digunakan. Secara umum semua anak dengan kecerdasan yang manapun dan gaya belajar apapun dapat ’survive’ di sekolah ini.
  • Sikap staf sekolah juga perlu dipertimbangkan, apakah komunikatif dan terbuka ? apakah mungkin anak mengikuti ’free trial’ sebelum anak didaftarkan ?
    Apakah keadaan sekolah aman dan nyaman ?

Beberapa aspek fisik sekolah yang dapat diperiksa :

  • Kisaran biaya pendidikan. Sesuaikan dengan kemampuan perekonomian kita karena menyekolahkan anak bukan 1 atau 2 minggu tapi 6 tahun. Kadang-kadang biaya yang diminta sesuai dengan apa yang didapat. Namun seringnya harga dengan kualitas terasa tidak seimbang. Anda yang jadi jurinya.
  • Periksa fasilitas sekolah dan perhatikan apakah semuanya berfungsi atau hanya jadi ’hiasan’ saja.
  • Apakah sekolah punya tenaga khusus seperti psikolog, konsultan, dan ahli pendidikan lain selain guru-guru.
  • Tanyakan peraturan sekolah dan bagaimana pelaksanaannya di sekolah. Misalnya ada peraturan anak harus berpakaian rapi, dan akan diperiksa sebelum masuk ke halaman sekolah. Datanglah pagi hari untuk melihat bagaimana peraturan ini dilaksanakan. Lakukan ini untuk peraturan yang anda anggap paling penting.
  • Kualitas pengajar merupakan hal yang paling penting dalam kegiatan belajar mengajar. Jika guru tidak pede, tidak nyaman, atau cemas, maka ia akan menyebarkan aura tersebut melalui bahasa tubuhnya. Tentunya hal ini akan berimbas pada anak karena menurut sebuah teori : 80% dari informasi yang didapat adalah dari bahasa tubuh, bukan bahasa verbal. Kebalikannya saat guru punya pemikiran positif, optimis, kreatif dan interaktif, maka hal itupun akan ditangkap oleh anak-anak dan merupakan bahan dasar dari kesuksesan anak di sekolah.
  • Cek jarak sekolah yang terjauh adalah yang berjarak tempuh 15-30 menit dengan kendaraan. Jika terlalu jauh beban anak jadi bertambah, sekolah dan kelelahan.

Hal-hal lain tentang sekolah ?
Sekolah negeri atau swasta ? Sekolah negeri lebih murah karena ada subsidi dari pemerintah, tapi.... Kalau sekolah swasta mahal sekali, tapi .......

Sekolah biasa atau setengah hari, atau sekolah seharian alias full day school. Kalau sekolah biasa kondisi fisik anak tidak kelelahan, tapi materi pelajarannya bagaimana ? Kalau full day school, anak kelelahan luar biasa, tidak bisa bersosialisasi dengan keluarga dan teman di rumah. Tapi orangtua tenang soal materi pelajaran yang didapat, pasti oke. Benarkah ?

Pilihan tentang jam sekolah sangat bergantung pada pola pikir/paradigma orangtua. Menurut teori ”Belajar sesuai kerja otak”, anak mempunyai waktu konsentrasi tertentu, tidak dapat dipaksakan untuk belajar jika kondisi fisik sudah lelah. Justru saat anak bosan, lelah atau capek maka ia ada dalam kondisi ”downshifting” atau kondisi off. Kondisi ini sangat tidak kondusif untuk proses pembelajaran.

Pesan penting untuk orangtua dalam memilih sekolah : ingatlah dan pahamilah baik-baik bahwa yang akan hadir dan belajar di sekolah adalah anak kita bukan kita. Jadi segala pertimbangan dan keputusan yang diambil adalah berdasarkan kebutuhan dan kepentingan anak bukan kebutuhan atau kepentingan orangtua.

Wallahu a'alam bishowwab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar